XSML Fashion

FASHION INDONESIA: AKANKAH MENJADI THE NEXT PARIS?

Facebook
Twitter
WhatsApp

Apakah pertanyaan di atas hanya sekedar mimpi semata? Temukan semua jawabannya di sini.

 

Salah satu wilayah metropolitan terpadat di Eropa, Paris kini mengkolaborasikan seluruh lini industrinya untuk menjadi kota global terbesar dunia. Tak hanya dari sisi bisnis dan budaya, Paris menggerakkan industri lainnya seperti fashionbeauty, sains dan seni. Semua yang dimiliki Paris bersinergi dalam membuat kota tersebut lebih maju dan tetap mempertahankan eksistensinya pada dunia.

Meskipun berbeda dengan London dan New York, Paris merencanakan untuk maju ke industri jasa bernilai tinggi dan produksi peralatan canggih. Infrastruktur yang dibangun pun dipikirkan secara matang-matang. Mereka menargetkan pembangunan metropolis Paris untuk 40 tahun berikutnya setelah Kyoto. Kota Paris akan semakin ramah lingkungan dan menintegrasikan pinggiran kota dengan pusat kota.

Sedangkan Indonesia khususnya Jakarta masih membutuhkan banyak pembenahan agar dapat meraih predikat capital city of the future seperti Paris. Pembenahan tersebut bukan hanya dari satu sektor industri saja, namun semua harus bersinergi layaknya kota mode tersebut. Saat ini, semua industri di Indonesia terlihat tidak berkesinambungan satu sama lain, sehingga ada yang tampak dominan dan ada juga yang redup. Hal ini disebabkan dari infrastuktur Indonesia yang belum memadai dan mindset para masyarakat Indonesia yang belum bisa menerima budaya luar.

Fashion merupakan salah satu industri yang masih terlihat redup dikarenakan para designer, pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat belum berintegrasi dengan baik. Apakah semua upaya yang dilakukan Indonesia sudah cukup? Jika kita sandingkan Indonesia dengan Paris, apakah Indonesia mampu mengikuti jejak Paris di bidang fashion dunia? Simak penelusuran (X)S.M.L selengkapnya di bawah ini.

THE FRESH-LADY, INDONESIA

Perkembangan fashion Indonesia ditandai dengan munculnya dua designer kawakan, Non Kawilarang dan Peter Sie yang menunjukkan potensinya dalam bidang fashion. Sejak saat itu, muncul banyak designer yang membawa fashion Indonesia to the next level, seperti Tex Saverio dimana karyanya digunakan selebriti papan atas dunia misalnya Jennifer Lawrence, Kim Kardhasian dan Lady Gaga.

Beberapa designer tersebut lebih memilih untuk memulai kariernya di luar negeri. Namun, jalan awal yang ditempuh tentu tak semulus prediksi, mereka pun pernah kesulitan saat berkancah disana. Sebut saja Tex Saverio yang namanya pernah terdengar saat tahun 2005, kemudian sempat redup dan sekarang muncul kembali. Akan tetapi, mereka membuktikan eksistensinya dan memberikan prestasi demi prestasi yang diakui di dunia internasional. Mereka juga bersaing dengan para fashion designer muda dari luar negeri.

Namun, persaingan itu belum mampu dimenangkan oleh desaigner Indonesia. Mereka masih tertinggal dengan designer luar yang lebih cepat tenar. Hal ini disebabkan dari faktor pangsa pasar luar negeri yang lebih luas dan terbuka pada budaya luar, mindset masyarakat yang sadar akan fashion, serta sarana dan prasarana yang mendukung. Sedangkan designer Indonesia belum mendapat dukungan penuh terhadap faktor-faktor di atas. Bahkan di antara mereka, ada yang melalui ‘jalan pintas’ dimana membangun brand image yang tidak sesuai dengan realita.

Walaupun banyak designer Indonesia yang berkarya di luar, masyarakat rupanya mulai memerhatikan designer lokal. Dilansir Jejak Pendapat, survei yang diadakan terhadap 1521 responden menyebutkan sebanyak 59,63% mengikuti perkembangan brand lokal di Indonesia. Kebanyakan dari mereka memilih brand lokal karena memiliki desain yang bagus dengan harga terjangkau.

Akan tetapi, brand-brand lokal masih kesulitan dalam mengembangkan usahanya seperti untuk membuka offline store di Indonesia masih membutuhkan usaha ekstra. Perijinan pemerintah yang sulit dilewati dan memerlukan modal besar menjadi penghalang mereka untuk maju. Sampai saat ini, mereka masih mengandalkan penjualan melalui online, sosial media, e-commerce dan menjadi partisipan dalam acara-acara besar misalnya Local Fest dan JakCloth. Pada event tersebut, promotor menyediakan marketplace sebagai wadah brand lokal.

Para brand lokal juga mendapatkan wadah dari department stores lokal (Matahari, Ramayana) maupun non lokal (Sogo, Metro, Central) untuk dapat meraup keuntungan. Namun, hasil yang ditadah belum cukup membantu. Banyaknya saingan dan kunjungan pengunjung yang tidak stabil menjadi faktor utama dimana wadah tersebut kurang efektif. Apalagi jika penjualan tidak memenuhi target, maka akan ada penalti.

Perkembangan fashion di Indonesia pun tak lepas dari peran penting Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI). Asosiasi ini rutin mengadakan program tahunan sejak 1993 sampai saat ini yang dikenal dengan Indonesia Fashion Week (IFW). Bila membandingkan IFW dengan fashion week dunia lainnya, Indonesia masih belum maksimal dalam mendapatkan dukungan para pihak luar, seperti buyer yang didatangkan kurang efektif sehingga tidak mampu menambah pemasukan negara serta belum menghadirkan designer dunia ternama agar Indonesia pun bisa belajar dan terinspirasi.

THE TRENDSETTER, PARIS

Julukan kota mode terbesar di dunia menjadi jawaban singkat mengapa Paris bisa menjadi sukses hingga saat ini. Paris sendiri merupakan kota yang mendominasi industri fashion di dunia dan disandingkan bersama ketiga negara lainnya yaitu London, Milan dan New York.  Fashion menjadi bidang yang penting dalam kehidupan masyarakat Paris.

Karena peran fashion yang begitu besar, Paris melahirkan brand-brand papan atas ternama seperti Channel, Pierre Cardin, Céline, Chloe, Dior, Givenchy, Hermès, Tom Ford, Armani dan Yves Saint Laurent. Beberapa sub kotanya seperti Lyon, Marseille, Bordeaux dan Rennes memiliki peran penting dalam setiap luxury brands tersebut. Selain itu, Paris menjadi ‘rumah’ dari para fashion designer dunia untuk belajar lebih mengenai busana. Sebut saja fashion designer ternama, Karl Lagerfeld yang berkarier di Chanel, Marc Jacobs di Louis Vuitton, Kenzo Takada dan Alexander McQueen di Givenchy.

Dengan melihat faktor tersebut, French Fashion Federation pun mengadakan fashion week yang sukses menjadi salah satu perhelatan besar dan penting bagi industri fashion dunia. Paris Fashion Week digelar dua kali dalam setahun setelah Milan Fashion Week. Pada Paris Fashion Week 2015 silam, mereka berhasil menghadirkan designer dari 24 negara dan jurnalis dari 50 negara yang berbeda. Selama diadakan annual event tersebut, pemerintah dapat meraup keuntungan hingga 1,2 miliar euro termasuk penjualan di toko. Selain itu, pemerintah juga membuka fashion school yang mudah ditemui dengan harga pendidikan terjangkau.

Sedangkan bila dilihat dari para fashionista di Paris, tidak diragukan lagi jika mereka uptodate dengan fashion. Kebiasaan dan budaya yang tercipta dengan sendirinya membuat mereka terpicu dan berbusana sesuai tren fashion masa kini. Street style di Paris juga menjadi salah satu inspirasi dan trandsetter dunia.

THE RESULT

Faktor yang menjadikan Paris sebagai kota mode terbesar di dunia adalah kolaborasi dari pemerintah, para designer dan masyarakat Paris. Pemerintah Paris tak hanya mendukung dalam memberikan wadah serta perijinan yang dibutuhkan saat mengadakan fashion week, mereka juga menyediakan banyak fashion school yang merupakan titik awal kelahiran designer muda. Kreativitas designer juga terlihat dalam menyesuaikan tren dunia dengan kebutuhan masyarakat Paris yang lebih berani dalam bereksplorasi dengan busana.

Sedangkan Indonesia belum mampu mengombinasikan ketiga faktor seperti Paris. Dari segi pemerintah sudah mendukung dengan diadakannya Indonesia Fashion Week dan acara fashion serupa. Namun, buyer internasional yang diundang saat fashion week tidak memberikan dampak yang signifikan. Buyer terbesar masih datang dari lokal. Kemudian, program pelatihan tata busana yang dilakukan pemerintah belum cukup maksimal. Jika pelatihan tata busana yang disosialisasikan kepada sekolah-sekolah dianggap sudah baik, pemerintah harus berbenah dengan memberikan beasiswa pendidikan busana ke luar Indonesia.

Dari sisi kreativitas designer, belum bisa menyaingi Paris dengan segudang home brand papan atasnya. Banyak fashion designer Indonesia yang lebih ‘nyaman’ berada di luar dan mendirikan brand berlisensi internasional. Hal ini disebabkan pemerintah dan pihak penyedia wadah seperti mal dan department stores masih mementingkan revenue dibandingkan membina kreativitas para designer. Sedangkan, designer lokal juga diperlakukan hal yang sama. Mereka belum mendapatkan wadah yang tepat, hanya melalui online dan sosial media saja. Sementara itu, kebudayaan dan kebiasaan masyarakat Indonesia masih cenderung tertutup dari pengaruh luar.

Sehingga kami menarik kesimpulan: Indonesia memiliki kesempatan untuk menjadi The Next Paris. Namun membutuhkan banyak pembenahan yang dilakukan secara berkala dan signifikan dari seluruh bidang. Semua industri harus bersinergi dan membentuk satu tujuan yang sama. Seperti dilansir Tempo.co, Indonesia akan menyaingi kota-kota terbesar dunia pada 2030. Mari kita lihat ya! (Christallia)