Pertengahan 2016 dunia mode dikejutkan dengan keputusan LVMH Moët Hennessy Louis Vuitton SE untuk menjual Donna Karan International (DKI) kepada G-III Apparel Group. Dilansir dari business of fashion, LVMH sudah mempertimbangkan hal tersebut selama 18 bulan terakhir.
Pada bulan April 2015, mereka telah menghentikan produksi DKNY Jeans dan lini DKNY C sehingga kehilangan income sebesar $200 juta. Hal ini dilakukan karena penurunan penjualan dari lini Donna Karaan terutama DKNY. Penjualan brand ini menjadi salah satu upaya LVMH untuk bertahan di pasar yang sulit.
Dilansir dari business of fashion Pierre-Yves Roussel Direktur dan CEO LVMH Fashion Group, beralasan bahwa core business mereka tidak sama dengan DKI. Ia berharap agar penjualan tersebut mampu menaikan kembali penjualan brand Donna Karan dibawah naungan G-III Apparel Group. LVMH Moët Hennessy Louis Vuitton SE menjual Donna Karan International dengan valuasi $650 juta.
Perjalanan label Donna Karan bertahan di Bisnis Fashion Papan Atas
Setahun sebelum label Donna Karan International dijual, Donna Karan sendiri telah mundur dari jabatannya sebagai Chef Designer. Ia ingin fokus untuk mengembangkan perusahaan sekaligus yayasan Urban Zen miliknya yang didirikan sejak tahun 2007. Namun banyak rumor yang menyatakan bahwa Donna sudah tidak lagi sejalan dengan LVMH Moët Hennessy Louis Vuitton SE.
Meski keduanya tidak memberikan pernyataan mengenai rumor tersebut, namun Donna Karan sendiri sudah kesulitan mengelola bisnisnya sejak pertama kali berdiri tahun 1984. Sebelum IPO, Donna Karan sukses dalam mengembangkan lini DKNY Jeans, DKNY Active, DKNY Underwear, DKNY Jeans Juniors and DKNY Kids yang dinaungi oleh Donna Karan International (DKI).
Permasalahan cash flow membuat Donna nekat untuk melakukan IPO di tahun 1996, ia menawarkan $10,75 juta share ke publik dengan share price $24 per share. Tahun 1986 Donna Karan mampu memperoleh revenue sebesar $19.06 juta dan naik menjadi $510 juta di tahun 1995. Strategi ini mampu menyelamatkan perusahaan dan menaikan share Donna Karan sebanyak 25%. Sayangnya hal ini justru tidak mampu dimanfaatkan designer asal New York ini untuk mengelola perusahaan dengan baik.
Ia terpaksa merubah strategi bisnisnya untuk memperlancar lisensi dan distribusi. Strategi ini dilakukan untuk mempermudah pembagian royalti kepada para desainer DKI. Namun sayangnya perubahan tersebut tidak berhasil membuat Donna Karan bertahan. Sejak IPO di 1996, revenue Donna Karan di kuarter pertama year on year hanya bertambah 32.2% dari $120 juta di 1995 menjadi $159.6 juta di 1996. Sementara dari tahun 1999 hingga 2000 revenue Donna Karan hanya bertambah dari $661.8 juta menjadi $662 juta.
Di tahun 2001, ia memutuskan untuk menjual label Donna Karan kepada LVMH dengan valuasi $243 juta dan tetap tinggal sebagai Chef Designer untuk label DKI. Bersama-sama mereka membangun label Donna Karan International untuk mengembangkan semua lini fashion Donna Karan semakin mengglobal.
Saat mengakuisisi label Donna Karan, LVMH cukup terkejut dengan tingginya harga produk retail serta pengeluaran manajemen perusahaan. Selain itu masa-masa ini juga dirasa menjadi masa paling berat bagi Donna. Di masa ini LVMH lebih tertarik untuk mengembangkan label DKNY yang menyasar kelas menengah dengan harga terjangkau. Dilansir dari WWD, Pierre-Yves Roussel, mengakui bahwa dalam 14 tahun, pihaknya kurang memaksimalkan potensi ekspansi serta peningkatan brand yang dimiliki DKI, hingga akhirnya brand tersebut dijual.
Ket: grafik revenue Donna Karan sebelum dan sesudah IPO dalam kurs dollar
Penyebab Goyahnya Brand Papan Atas setelah IPO
Donna Karan adalah satu dari banyak brand papan atas yang mengalami pasang surut setelah melakukan IPO. Tahun 2011 banyak brand papan atas yang melakukan IPO, misalnya Michael Kors dan Prada Group. Sebelum IPO Prada Group memperoleh profit sebesar $389.8 juta di 2009 dan menjadi $351. 9 juta di 2010. Di tahun 2011 saat IPO, Prada mampu memperoleh profit sebesar $574 juta. Saat go public Prada menawarkan $2,14 miliar share dengan penawaran HK$39.50 per share di Hong Kong Stock Exchange.
Pertama kali IPO net profit Prada naik 45% dan di 2012 profit Prada semakin naik menjadi $804 juta dan di 2013 net profit Prada justru turun 44% meski profit mereka tetap stabil di angka $866 juta. Kondisi ini dipengaruhi penurunan penjualan di wilayah Asia, padahal Cina diperkirakan akan berpotensi besar terhadap penjualan Prada.
Ket: semua angka dalam jumlah jutaan dollar
Prada Group sengaja melakukan IPO di Cina dengan harapan bisa menembus pasar Asia dan menaikan penjualan. Sayangnya memasuki 2014 pasar Cina mengalami kejatuhan sehingga penjualan brand papan atas terus menurun. Tahun 2014 proft Prada menurun menjadi $489 juta dan di 2015 menjadi $378.2 juta.
Dilansir dari business of fashion, hal ini ditanggapi Prada dengan menawarkan berbagai produk yang diluar core Prada. Pengembangan produk leather core dan juga berupaya menaikan permintaan melalui koleksi pakaian. Mereka juga berupaya menaikan harga terhadap main product seperti tas. Hal yang sama juga dilakukan Burberry terhadap main product mereka.
Kedua brand besar ini mulai menjadi de facto retailer dan menarik diri dari penjualan grosir, mereka juga sama-sama bermain lebih agresif di hilir. Kedua brand yang sama-sama sudah IPO ini masih memiliki keimanan yang kuat terhadap brand religion. Keimanan ini memainkan peranan yang kuat dalam setiap keputusan bisnis yang diambil. Dalam bisnis fashion papan atas, seorang direktur kreatif biasanya memiliki posisi tinggi lain di perusahaan.
Selain bertindak sebagai direktur kreatif, Christopher Bailey juga bertindak sebagai CEO Burberry. Sementara Miluccia Prada, memiliki posisi direktur kreatif Prada dan pemegang saham terbanyak. Namun ia juga masih memiliki satu posisi terpenting, yaitu pasangan dari Patrizio Bertelli, CEO Prada Group.
Tak heran bila keputusan penting dalam bisnis sering terabaikan. Image brand menjadi nafas dan denyut nadi tanpa mengindahkan realita dunia bisnis. Keputusan diambil demi menyelamatkan image brand bukan keuangan perusahaan. Dalam situasi sulit, Prada justru melakukan penyempitan produk dan menawarkan tas khusus kelas atas. Padahal, produk baru yang menarik dengan harga lebih rendah dapat membantu Prada dalam menghadapi penurunan pendapatan.
Namun image brand sedikit banyak mampu membantu kenaikan pendapatan bila dilakukan dengan tepat. Prada, mulai menggunakan label made in Italy untuk meningkatkan kepercayaan konsumen. Prada ingin membuktikan bahwa brand image bisa menjadi strategi yang baik dalam menghadapi pasar yang buruk, namun sayang hal ini tidak selalu memberikan hasil seperti yang diharapkan.
Menurut business of fashion, brand fashion papan atas lebih banyak dikuasai oleh para stakeholder sebagai chef executive dan jarang menggunakan demokrasi sebagai alat penentu kebijaksanaan. Hal ini bisa menghambat bisnis dan menjadi resiko yang besar. Hal ini dibuktikan dengan turunnya revenue Prada sebesar 14,8% pada kuartal pertama 2016 diikuti dengan turunnya penjualan Prada di Asia Tenggara 22% dan 21% di Eropa.
Iming-iming IPO dan Konsekuensi yang Sering Terlupakan
Tahun 2011 Prada memutuskan untuk go public di Hong Kong Stock Exchange. Strategi ini dilakukan melihat potensi besar pasar Asia untuk brand papan atas. Sayangnya, perubahan kebiasaan berbelanja masyarakat serta pergolakan ekonomi global tidak diantisipasi Prada. Namun kisah label Donna Karan dan Prada yang terombang-ambing setelah go public, nyatanya tidak menyurutkan brand papan atas lainnya untuk IPO. Sebut saja Guess yang dirumorkan akan go public ditahun 2017 ini.
Menurut Luca Solca, Head of Luxury Goods at Exane BNP Paribas di business of fashion, banyak brand papan atas yang melakukan IPO karena membutuhkan dana segar dan ingin mengembangkan brand mereka. Dalam sudut pandang ini, IPO menjadi strategi marketing yang efektif, beberapa brand malah melakukan IPO di dua negara demi menaikan efek tersebut. Prada melakukan IPO di Hong Kong untuk menembus pasar kelas atas Asia. Coach bahkan melakukan double listing di Hongkong dan New York untuk meningkatkan profile brand secara nasional maupun global.
Namun yang perlu diingat adalah saat melakukan listing dan menjual saham, brand harus mulai mengubah haluan mereka untuk mencari profit. Investor tidak akan mau menanam saham pada bisnis yang tidak menguntungkan. Campur tangan investor sudah selayaknya dipertimbangkan matang-matang sebelum brand papan atas melakukan IPO.
Mempertemukan Investor dengan Realita IndustrI Bisnis Fashion Papan Atas
Mengubah haluan bukan berarti kehilangan jati diri brand. Menurut Steven Kolb, CEO dari CFDA, di fashionista, dalam industri fashion ada kebaruan dan kreativitas yang sayangnya tidak sama dengan ide bisnis baru. Hanya karena sebuah koleksi desainer disukai industri fashion bukan berarti sang desainer akan dilirik investor. Kenyataanya para investor hanya tertarik pada brand yang memperlihatkan adanya profit.
Ia mencontohan bagaimana grup global papan atas seperti Kering, hanya mau menanamkan saham yang sedikit kepada brand Altuzarra tanpa mau mengungkapkan total investasi kepada brand tersebut. Sang designer Joseph Altuzarra, beralasan bahwa ia masih ingin tetap independen dan mengendalikan bisnis sepenuhnya. Namun kenyataanya memperoleh inevestasi dari Kering bukanlah hal mudah.
Joseph telah bergelut dengan industry fashion selama 5 tahun dengan telah memenangi berbagai penghargaan bergengsi. Kolb menuturkan bahwa untuk meyakinkan investor, dibutuhkan waktu dan pembuktian yang panjang bahwa suatu saat uang yang mereka investasikan akan berbuah manis. Ia menyarankan agar seorang designer bisa menciptakan pertumbuhan yang stabil, tidak berfikir terlalu besar, fokus, terutama pada perencanaan keuangan. Namun perjalanan Donna Karan membuktikan bahwa terburu-buru melakukan IPO untuk menghadapi cash flow bukanlah pilihan bijak.
Dalam perjalannya bersama LVMH, Donna Karan ingin agar brand DKI memiliki kualitas yang baik agar bisa bersaing sebagai brand papan atas. Dari segi image brand ia memiliki pemahaman yang kuat bahwa brand tidak lah dibangun dalam waktu satu hari, butuh perjalanan panjang untuk bisa sampai pada image brand saat ini. Produk yang selalu menggunakan kualitas terbaik, tentunya akan jatuh di mata pecinta fashion saat hadir menggunakan produk dengan kualitas buruk.
Namun di mata para investor, pemahaman ini tak bisa dipahami semudah membalikan telapak tangan. Itulah sebabnya para investor mencari brand yang sudah stabil dan mampu menumbuhkan bisnisnya secara stabil. Hal ini tentunya memberikan pemahaman bagi para investor bahwa bisnis tersebut sudah bisa memberikan keuntungan kepada mereka. Banyak investor yang kini mulai melirik fast fashion brand. Pada tahun lalu, grup Inditex yang menaungi fast fashion brand seperti Zara, Bershka, Stardivarius, dan Pull&Bear mampu memperoleh profit sebesar $3,17 triliun di 2015.
Selain itu net Income Inditex selalu naik semenjak IPO. Tahun 1999 Inditex mampu memperoleh net income € 204.7 juta dan €259.2 juta di tahun 2000. Tahun 2001 Inditex melakukan IPO dengan menjual 142 juta share dengan penawaran € 14.70 per share. Sejak saat itu net Income Inditex selalu naik, € 340.4 juta di 2001 dan € 438.1 juta di 2002. Inditex juga mulai melakukan ekspansi ke negara-negara Eropa lainnya, Amerika, dan Asia khususnya Asia Pasifik.
Semenjak IPO hingga saat ini, Inditex selalu menunjukan pertumbahan yang cukup berarti. Meski tak banyak pemain fast fashion brand yang melakukan IPO, namun kesuksesan Inditex dalam melakukan ekspansi, membuat pemain fast fashion brand yang lain tergiur untuk melakukan ekspansi secara besar-besaran. Banyak brand-brand dari kelas ini yang sudah melakukan IPO demi memperluas pasar baru. Contohnya adalah Baroque (yang membawahi brand Moussy) dan Aritizia melakukan IPO di tahun 2016 lalu.
Brand seperti Zara, H&M, dan Uniqlo mampu menawarkan produk yang sesuai tren, kualitas baik, dengan harga terjangkau. Selain itu brand ini juga menyasar kalangan anak muda atau para pecinta fashion yang selalu mengikuti tren, sehingga sangat diminati.
Sayangnya fast fashion brand dianggap menjadi penyebab bertumpuknya permasalahan sampah pakaian, karena cepatnya perkembangan mode di kategori ini. Pakaian yang tak sesuai tren dibuang begitu saja dan pecinta fashion kembali membeli pakaian baru dari brand-brand tersebut. Di tahun 2017, penjualan fast fashion brand diperkirakan akan menurun karena meningkatnya kesadaran masyarakat akan permasalahan tersebut. Namun ini hal ini belum bisa dipastikan apakah akan berpengaruh pada penjualan atau tidak.
Mengantisipasi Perubahan setelah IPO
Bisa jadi campur tangan investor menjadi salah satu alasan utama mengapa banyak brand papan atas yang belum mau go public. Sejatinya, mereka masih memegang erat idealisme brand image tanpa ada campur tangan pihak luar. Hingga saat ini belum ada brand lokal Indonesia yang IPO, mereka masih menikmati keadaan sebagai perusahaan tertutup. Namun akan ada saatnya sebuah brand membutuhkan dana dari pihak luar untuk melakukan ekspansi secara besar-besaran.
Hal ini bisa dilihat dari kesuksesan Inditex dalam melakukan ekspansi dan memperbanyak toko mereka di kawasan Eropa, Amerika, Asia, dan Asia Pasifik. Mengikuti tren, melihat pasar, menjaga kualitas, dan memberikan harga sesuai target konsumen membuat fast fashion brand bertahan hingga saat ini. Meski sudah melakukan IPO manajemen tim yang baik membuat fast fashion brand masih bisa bertahan.
Performa perusahaan bergantung pada para pimpinan dan tim kreatif. Namun kedua posisi ini haruslah dipimpin oleh orang yang terpisah. Dalam kenyataanya, di industri fashion brand papan atas kedua posisi ini dipegang oleh orang yang sama. Sementara dalam fast fashion brand, posisi ini dipegang oleh orang terpisah. Inditex misalnya, 60% sahamnya masih dimiliki oleh keluarga Ortega selaku pendiri. Marta Ortega sebagai anak dari Amancio Ortega memiliki berbagai posisi penting di Inditex dan anak perusahaan Inditex, namun ia hanya bergerak di bidang marketing tanpa ikut campur dalam urusan kreatif.
Posisi CEO diserahkan kepada Pablo Isa sejak tahun 2011 oleh Amancio Ortega, meski begitu Amancio masih aktif di perusahaan sebagai anggota stakeholder. Ia membuktikan bahwa seorang pemimpin bisnis harus cermat dalam melihat kondisi pasar. Seorang CEO yang baik haruslah berani mengambil keputusan penting dalam bisnis demi menyelamatkan perusahaan dan nama baik brand. Ada kalanya image brand menjadi nomor dua dan mengalah pada realita pasar.
Tanpa go public, orang-orang tidak akan tahu problematika yang dihadapi brand. Strategi ini bisa menyelamatkan brand image sehingga brand senantiasa dalam posisi aman. Namun bila suatu saat produk yang dihasilkan tidak diminati pasar dan strategi yang dilakukan tidak menghasilkan keuntungan, maka brand akan tenggelam dan hilang. Sejatinya, IPO tetap menjadi magnet yang menarik bagi para pemilik brand, oleh karena itu, persiapan mental sebelum go public haruslah dilakukan pemilik brand agar startegi tersebut berjalan dengan baik dan memberikan keuntungan baik brand maupun investor. (Aulia DH)