Saat membeli baju, normalnya seseorang akan mempertimbangkan musim yang sedang berlangsung. Sementara industri fashion global mengacu pada kalender Barat yang menggunakan iklim subtropis, Spring/Summer atau Fall/Winter, tren di negara tropis seperti Indonesia jauh lebih fleksibel karena musimnya hanya terbagi menjadi hujan dan kemarau.
Selama beberapa dekade, mengoleksi baju berdasarkan musim memang dianggap sebagai strategi efektif di dunia fashion, karena perbedaan kondisi cuaca yang cukup ekstrim pada setiap musim. Meski demikian, seiring dengan perubahan iklim dunia akibat global warming, konsep ini menjadi kurang efektif dibanding sebelumnya.
Selain itu, tren musiman asing memang dapat memperkaya perspektif, namun rutinitas pembaruan fashion berdasarkan kalender tak sesuai dengan iklim tropis, dan justru menimbulkan tekanan untuk terus membeli berdasarkan “musim mode” yang tidak relevan secara lokal. Karenanya, dalam konteks lokal Indonesia, para fashionista sebaiknya mulai menggeser paradigma dan mulai melepaskan diri dari kalender fashion global. Berikut ulasanya:
Tren Musiman Akan Mendorong Industri Fast Fashion
Tren musiman secara tidak langsung berkaitan erat dengan fast fashion. Melansir Vogue, fast fashion pada dasarnya mengambil tren musiman, yang awalnya hanya melibatkan beberapa koleksi per tahun seperti Spring/Summer dan Fall/Winter, kemudian mempercepat siklusnya menjadi jauh lebih pendek dan intensif.
Selain itu, produk musiman yang dikeluarkan oleh brand-brand fashion akan diberdayakan oleh analisis data dan media sosial untuk mendeteksi tren yang relevan secara cepat, lalu merespons dengan koleksi baru yang dirilis berkali-kali dalam setahun. Strategi ini menciptakan tekanan agar konsumen selalu “up-to-date”, mendorong konsumsi impulsif dan membuat pakaian cepat “kedaluarsa’.
Sementara itu, fenomena fast fashion sendiri sebenarnya telah lama menjadi sorotan global, dengan dampak besar terhadap lingkungan. Di Indonesia saja, setiap tahun dihasilkan sekitar 2,3 juta ton limbah tekstil, yang setara dengan 12% dari total sampah rumah tangga. Sayangnya, dari total limbah, hanya sekitar 0,3 juta ton yang berhasil didaur ulang. Bukan hanya angka, data tersebut juga menggambarkan realitas menumpuknya pakaian usang dan berujung di tempat pembuangan, masuk ke dalam sistem linear yang tak mendukung keberlanjutan.
Sampah tekstil ini pun bukan hanya berdampak pada menggunungnya tumpukan, tapi memiliki konsekuensi nyata, seperti limbah cair dari pewarna dan bahan kimia senyawa berbahaya terus mencemari Sungai. Salah satu kasusnya adalah kondisi di Citarum yang penuh limbah tekstil, dengan efek yang merusak ekosistem dan berdampak pada masyarakat sekitar. Deskripsi ini menunjukkan bahwa fast fashion bukan sekadar tren, namun juga beban lingkungan yang nyata bagi negeri tropis seperti Indonesia.
Overproduksi dan Konsumsi Berlebihan
Model bisnis fast fashion mendorong produksi masif untuk memenuhi permintaan yang sebenarnya impulsif. Produksi pakaian global terus meningkat, sementara tingkat penggunaan setiap item menurun drastis. Seiring produksi yang terlampau besar, banyak pakaian bahkan tidak sempat dipakai, dan yang terpakai sering kali hanya beberapa kali sebelum dibuang.
Di Indonesia, fenomena serupa tampak jelas. Masyarakat terbiasa membeli pakaian murah dan sekali pakai, yang kemudian dengan cepat hilang karena kualitas rendah atau sekadar ingin mengikuti tren. Hal ini menciptakan siklus konsumsi yang berlebihan dan limbah yang berlipat, tanpa disertai kesadaran akan dampak sosial dan lingkungan.
Personal Style sebagai Alternatif untuk Gaya yang Berkelanjutan
Personal style adalah pendekatan yang mengutamakan pemilihan item fashion berdasarkan kecocokan, kenyamanan, dan daya tahan. Jadi bukan sekadar kecepatan tren. Gaya ini mendekatkan wardrobe pada identitas, dan mendorong penggunaan item yang bertahan lama.
Konsep capsule wardrobe sangat mendukung konsep ini, karena melibatkan sejumlah item fungsional, timeless, dan mudah dipadu-padankan, sehingga mengurangi kebutuhan membeli barang baru setiap musim. Dengan demikian, personal style bukan hanya soal estetika tapi juga tentang efisiensi dan keberlanjutan.
Langkah Praktis Membangun Wardrobe Berdasar Personal Style
Sebelum masuk ke poin-poin praktis, penting untuk memahami bahwa membangun gaya personal adalah proses yang melibatkan refleksi dan seleksi sadar, bukan reaksi terhadap kalender mode. Berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan:
- Melakukan audit lemari: identifikasi pakaian yang sering digunakan, apa warnanya, potongannya, bahan seperti apa?
- Memilih potongan klasik: item seperti blazer terstruktur, jeans straight-leg, trench coat, atau dress midi yang tetap relevan meski tren berubah.
- Menerapkan palet warna terbatas: misalnya netral seperti hitam, beige, abu—memudahkan mix & match tanpa banyak membeli.
- Berinvestasi pada kualitas bahan: denim solid, kapas organik, atau bahan lokal yang awet sehingga penggunaan jangka panjang makin nyaman.
- Menjadikan tren sebagai inspirasi, bukan agenda: ambil elemen kecil (warna, aksesori, tekstur) yang relevan dengan warna dan potongan koleksi yang sudah ada.
Dengan mengikuti langkah-langkah di atas, wardrobe menjadi lebih fungsional, mencerminkan gaya personal, dan mendukung keberlanjutan dalam jangka panjang.
Meningkatkan Kesadaran dan Menerapkan Regulasi
Seiring meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap isu lingkungan, perilaku konsumen mulai bergeser. Banyak individu yang menunjukkan ketertarikan untuk membeli produk fashion ramah lingkungan, meski akan muncul tantangan, seperti harga yang relatif lebih tinggi.
Digitalisasi dan media sosial berperan besar dalam menjangkau public, melalui konten edukatif dan kampanye influencer dapat memicu perubahan sikap dan memunculkan rasa tanggung jawab kolektif.
Regulasi pun mulai bergerak, misalnya inisiatif circular economy yang mendapat perhatian serius karena menekankan penggunaan kembali dan daur ulang bahan tekstil. Hal ini akan membuka potensi untuk mengurangi limbah sekaligus menciptakan lapangan kerja baru. Pendekatan ini diharapkan mampu menyelesaikan ketimpangan produksi linear yang selama ini memperparah dampak fast fashion.
Model fashion musiman asing memang memberi perspektif, tetapi konteks iklim di Indonesia menuntut pendekatan yang lebih relevan dan berkelanjutan. Ketergantungan pada tren musiman mendorong produksi massal, konsumsi impulsif, dan sampah tekstil yang berdampak lingkungan. Sebaliknya, personal style menawarkan jalur keluar yang realistis dengan wardrobe reflektif, fungsional, dan tahan lama.
Reference :
https://www.accio.com/business/fast_fashion_trend_cycles
https://www.vogue.com/article/what-is-fast-fashion
https://www.fashiontrendyshop.com/seasonal-and-fast-fashion/
https://www.thejakartapost.com/business/2023/05/10/roadmap-to-2050-exploring-circular-textiles-in-indonesia-and-beyond.html
https://luminousinsights.net/articles/JSM-2025-144
https://hiduphijau.com/blog-fashion-waste-mengancam-indonesia-apa-solusinya
https://ekonomisirkular.id/newsideas/fenomena-fast-fashion-waste%3A-meninjau-pendekatan-ekonomi-sirkular-dalam-industri-tekstil
https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/241852
Image Source :
https://www.shutterstock.com/id/image-photo/red-winter-jackets-hang-on-wooden-1205151457
https://www.shutterstock.com/id/image-photo/crowded-clearance-section-clothing-store-various-1632761542
https://www.shutterstock.com/id/image-photo/dieren-netherlands-jun-06-2019-woman-1747304603
https://www.shutterstock.com/id/image-photo/beautiful-black-woman-wearing-elegant-pink-1818576875
https://www.shutterstock.com/id/image-photo/professional-black-female-stylist-holding-red-2572178847
https://www.shutterstock.com/id/image-photo/closeup-young-caucasian-man-choosing-shirt-360846332