XSML Fashion

Apa Itu Gender-Neutral Fashion? Dari Gaya Androgini hingga Tren Eco-Friendly Masa Kini

Facebook
Twitter
WhatsApp

Sepanjang sejarah modern, busana pria dan wanita dibedakan melalui siluet dan elemen desain yang spesifik, seperti potongan ketat untuk perempuan dan potongan ramping untuk pria. Namun kini, gender-neutral fashion muncul dan menjadi topik yang semakin banyak dibahas. Pasalnya, gagasan ini bukan mewakili kesetaraan gender, namun g juga dianggap sesuai dengan konsep keberlanjutan (sustainable fashion).

Gender-neutral fashion merupakan gaya busana yang dirancang tanpa memperhatikan batasan gender tradisional, sehingga dapat dikenakan oleh siapa saja tanpa hambatan identitas. Tren ini tumbuh seiring meningkatnya kesadaran soal fluiditas gender dan inklusivitas dalam masyarakat global. Terlebih di Indonesia, di mana sejarah budaya seperti adat Bugis sudah mengenal kategori gender lebih dari dua, konsep gender-neutral fashion ini jadi lebih relevan dan kontekstual.

Sementara itu, generasi Z dan milenial menjadi motor utama pergerakan ini. Menurut data, 56% Gen Z lebih memilih brand yang menawarkan opsi gender-neutral, dan konsumen semakin menuntut fashion yang tidak hanya stylish tetapi juga bertanggung jawab secara lingkungan. Hal ini menegaskan bahwa posisi gender-neutral fashion bukan tren semata, melainkan refleksi nilai sosial masa kini.

Lalu bagaimana gender-neutral fashion mewakili konsep sustainable fashion? Simak penjelasannya berikut ini!

Apa Itu Gender-Neutral Fashion?


Secara tradisional, pakaian wanita sering kali menekankan lekuk tubuh melalui fit pas, detail dekoratif, dan palet warna lembut atau cerah, sedangkan busana pria cenderung lebih fungsional dan sederhana, dengan potongan lurus dan warna netral atau gelap.

Namun sejak era Victorian hingga gerakan Flapper dan seni pertunjukan, busana androgini muncul sebagai bentuk ekspresi yang menuntut hak elegan penuh bagi semua gender tanpa label tertentu.

Gender-neutral fashion, juga dikenal sebagai unisex atau genderless, adalah busana yang dirancang untuk dikenakan oleh siapa saja tanpa klasifikasi berdasarkan gender. Ini mendorong kebebasan ekspresi dan membebaskan individu dari norma busana tradisional yang kaku.

Menurut studi McKinsey 2023, sebagaimana dilaporkan Fashion Index, sebanyak 36% konsumen AS pernah membeli pakaian yang tidak sesuai dengan gendernya, dan 73% menyatakan terbuka untuk mencoba busana gender-neutral, mengindikasikan adanya kebutuhan kuat terhadap inklusivitas dalam fashion.

Sejarah dan Evolusi Gender-Neutral Fashion

Konsep genderless fashion ternyata bukan hal yang baru muncul. Wanita kulitas sosial dan aktor teater sejak Victoria memakai pakaian netral gender, dan tren Flapper mempopulerkan celana sebagai simbol kebebasan perempuan. Di abad ke-20, desainer seperti Paul Poiret dan Coco Chanel mempopulerkan celana untuk Perempuan, di mana ikon androgini seperti Marlene Dietrich kian memperkuat gerakan ini.

Jejak konsep genderless fashion dapat ditelusuri sejak era androgini tahun 1960-an dan 1970-an, yang dipopulerkan ikon seperti David Bowie dan pemakaian siluet ambiguitif. Perkembangan selanjutnya muncul lewat desain kontemporer unisex modern, serta subkultur Jepang seperti genderless kei yang mengaburkan batas gender lewat estetika—dengan figur seperti Ryuchell sebagai pionirnya.

Kini, gender-neutral tak lagi asing. Di Jepang, gaya genderless kei populer di Harajuku dan dipengaruhi oleh K-pop dan visual kei, dengan figur seperti Ryuchell menjadi ikon subkultur genderless Jepang. Di berbagai negara pun mulai berkembang gaya busana yang netral dengan berbagai sentuhan budaya lokal setempat.

Tren Global & Situasi Terkini

Menurut riset, pasar busana gender-neutral global diperkirakan mencapai US$98,2 miliar pada 2023, dengan proyeksi tumbuh ke US$209,7 miliar pada 2031, dengan CAGR (compound annual growth rate) sekitar 6,2%.

Data lain mencatat tren serupa, di mana nilai pasar gender-neutral diperkirakan mencapai US$3,2 miliar di 2023, tumbuh rata-rata 6,5% dari 2024 hingga 2030. Ini menunjukkan bahwa minat terhadap fashion inklusif terus meningkat, terutama dikemudikan oleh konsumen muda.

Pengaruh Gender-Neutral Fashion terhadap Lingkungan

Gender-neutral fashion melepas batasan gender dan memungkinkan individu mengekspresikan diri tanpa tekanan stereotip, sehingga mendorong kebebasan identitas bagi khalayak luas.

Selain itu, survey menunjukkan brand yang inklusif meraih engagement lebih tinggi, misalnya 39% brand sudah menyediakan lini unisex, dan brand dengan pesan “inclusive” mendapat perhatian konsumen lebih besar.

Terlepas dari manfaatnya secara umum, gender-neutral fashion juga memberikan dampak yang luar biasa terhadap lingkungan dan mendukung sustainable fashion. Berikut hubungannya:

  1. Pengurangan Produksi Berlebih: Dengan satu desain yang bisa digunakan banyak orang, gender-neutral fashion mendorong produksi lebih efisien dan terhindar dari overconsumption.
  2. Material Berkelanjutan & Desain Minim Limbah: Brand ramah lingkungan semakin banyak mengadopsi material seperti Tencel, katun organik, dan deadstock. Hal ini bisa meminimalisir limbah sekaligus menciptakan produk tahan lama. Desain minimalis dan timeless juga menjadi bagian strategi circular fashion dan zero-waste.
  3. Menghindari Fast Fashion: Model gender-neutral, terutama ketika dikombinasikan dengan slow fashion dan sustainable design, menjadi penentang kuat terhadap industri fast fashion yang terbukti menyumbang 8% emisi karbon dan 92 juta ton limbah tekstil per tahun.

Indonesia sendiri menunjukkan respons positif terhadap gender-neutral fashion, dengan munculnya beberapa brand yang meluncurkan koleksi genderless. Di ranah budaya, kesadaran inklusif juga tercermin dalam adat Bugis, mengakui lima kategori gender, sehingga menjadikan konsep ini tidak asing secara historis.

Perilaku konsumen juga mendukung. Survei menunjukkan 74% konsumen online di Indonesia lebih memilih brand yang menerapkan praktik sustainable, dan 32,5% pernah melakukan upcycling pakaian mereka sendiri.

Tantangan dan Kritik yang Perlu Diperhatikan

 

Meski konsepnya terlihat apik, namun gender-neutral fashion bukan tanpa kendala. Ada berbagai aspek yang berpotensi menghambat perkembangannya, antara lain:

  • Ukuran Tanpa Gender: Menyesuaikan pas benar untuk semua jenis tubuh adalah tantangan besar dalam pembuatan satu pola gender-neutral. Dalam hal ini, dibutuhkan inovasi seperti modular sizing atau teknologi body scan.
  • Komersialisasi tanpa Keaslian: Label “gender-neutral” kadang hanya dijadikan bahan promosi, bukan hasil implementasi desain inklusif yang otentik.
  • Kurangnya Keberagaman Representasi: Brand harus memastikan representasi bukan hanya soal gender, tapi juga ras, ukuran tubuh, dan aksesibilitas agar inklusivitas tidak bersifat superfisial.

Gender-neutral fashion bukan sekadar gaya busana. Konsep ini merupakan refleksi perubahan sosial, yaitu mendorong inklusivitas, efisiensi desain, dan konsumsi yang lebih bertanggung jawab. Dengan meningkatnya permintaan global untuk inklusivitas dan material yang ramah lingkungan, gender-neutral fashion semakin relevan, baik sebagai strategi bisnis maupun langkah pro-sosial.

Reference :

https://www.bbc.com/indonesia/vert-tra-56854166
https://www.linkedin.com/pulse/gender-neutral-clothing-market-outlook-20242033-brvwf/
https://www.reviewcollections.com/blog/what-is-the-growth-potential-of-the-neutral-clothing-market/
https://www.fashionindex.com/blog/gender-neutral-fashion