Setiap helai pakaian memiliki perjalanan panjang yang mungkin tidak disadari para pemiliknya. Bermula dari desain, produksi, distribusi, hingga sampai ke tangan konsumen. Pada akhirnya, sebagus apapun, pakaian tidak lagi memenuhi selera pemiliknya dan kemudian disingkirkan.
Namun kerap kali akhir dari sebuah busana tidak hanya berhenti di lemari yang terabaikan, melainkan berakhir di tempat pembuangan akhir, diolah ulang dengan cara tradisional, atau bahkan dibakar. Beberapa memang didaur ulang dengan baik, namun tak sedikir yang menumpuk begitu saja, hingga menjadi limbah yang mencemari lingkungan.
Sayangnya, tidak semua orang menyadari bahwa pakaian yang dibeli bisa saja berdampak serius pada lingkungan. Menelusuri aspek ini, sangat penting untuk menyadarkan public bahwa fashion bukanlah tentang pembelian, namun juga tentang konsekuensi jangka panjang dari setiap keputusan gaya. Berikur penjelasan lengkapnya!
Kondisi Limbah Pakaian di Tempat Pembuangan
Di Indonesia, limbah tekstil termasuk salah satu kategori sampah rumah tangga yang cukup signifikan. Pada tahun 2021, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat bahwa limbah pakaian mencapai sekitar 2,3 juta ton per tahun, atau sekitar 12% dari total sampah rumah tangga.
Namun dengan jumlah yang begitu besar, hanya 0,3 juta ton limbah saja yang berhasil didaur ulang, sementara sisanya mengisi tempat pembuangan akhir atau dibakar. Faktanya, secara infrastruktur, banyak tempat pembuangan tidak dikelola secara memadai, dengan sebagian di antaranya malah dibuang secara ilegal atau diinsinerasi. Hal ini jelas bisa memperburuk polusi dan emisi.
Kasus ekstrem seperti longsornya TPA Leuwigajah di Bandung pada tahun 2005 adalah contoh konkret bagaimana tumpukan sampah yang tidak stabil bisa menimbulkan bencana. Insiden ini telah meluluhlantakkan permukiman penduduk desa pemilah sampah dan menewaskan 143 orang. Hal ini mempertegas bahwa sampah tekstil bukan soal estetik semata, melainkan juga risiko terhadap keselamatan publik.
Daur Ulang dan Upcycling Sebagai Jalan Menuju Circular Fashion
Untungnya, model daur ulang tekstil di Indonesia saat ini semakin berkembang, dan sistem ini bahkan mencakup potongan kain sisa sebelum dikonsumsi (pre-consumer). Start-up seperti Pable, yang bermitra dengan komunitas pengrajin tenun di Jawa Timur, berhasil mengubah limbah kain menjadi benang daur ulang berkualitas untuk dipakai kembali. Langkah ini menunjukkan potensi ekonomi circular fashion yang bisa diadopsi lebih luas.
Selain itu, inisiatif seperti Our Commuknitty, yaitu sebuah gerakan sosial dari Jakarta, berhasil mengubah pakaian katun bekas menjadi benang rajut, lalu diproses menjadi produk seperti coaster, sekaligus melibatkan penyandang disabilitas dalam proses kreatifnya. Model seperti ini memperlihatkan bahwa dampak pemberdayaan sosial bisa seiring dengan upcycling yang ramah lingkungan.
Inisiatif Sirkular dan Roadmap Pemerintah
Bappenas telah memasukkan sektor tekstil ke dalam Roadmap Ekonomi Sirkular 2025–2045, menargetkan pengelolaan limbah tekstil sebagai salah satu prioritas. Melansir Global Green Growth Institute, proyeksi menunjukkan bahwa limbah tekstil Indonesia dapat naik menjadi 3,5 juta ton per tahun pada 2030 jika tidak ada intervensi. Namun, adopsi prinsip circular economy diperkirakan akan memberikan dampak ekonomi sekitar Rp 19,3 triliun atau sekitar 5,5% dari PDB pada 2030.
Dukungan juga mengalir dari GGGI melalui program GTIP, dengan kerja sama lintas lembaga untuk membangun kapasitas daur ulang, pelatihan kejuruan, dan penciptaan lapangan kerja hijau di sektor tekstil. Selain itu, masih banyak inisaitif lain di bidang pengelolaan limbah kain yang diprediksi bisa memberikan hasil menjanjikan, baik dari segi ekonomi, budaya, maupun lingkungan.
Peran dan Tindakan Industri Global
Kabar baiknya, tidak perlu tindakan besar untuk membantu mengatasi masalah limbah pakaian. Ada hal-hal kecil yang bisa diusahakan di rumah, namun bisa memberikan dampak besar jika dilakukan secara ajeg.
- Donasi yang Bijak: Donasi sebaiknya fokus pada pakaian layak pakai dan disalurkan ke lembaga terpercaya, agar tidak malah memperberat beban negara penerima atau landfill lokal.
- Upcycling & DIY Kreatif: Mendorong transformasi pakaian lama menjadi barang baru seperti tas, aksesori, atau patchwork, baik secara personal maupun melalui komunitas seperti Our Commuknitty atau Setali.
- Beli dengan Niat Jangka Panjang: Seleksi investasi pada potongan timeless, bahan berkualitas, dan desain mudah dirawat. Hal ini memperpanjang masa pakai dan mengurangi kebutuhan beli baru.
- Manfaatkan Layanan Repair dan Circular Fashion: Perbaikan pakaian (repair) menjadi pilihan yang fungsional dan ekonomis, seperti yang ditunjukkan oleh model fast fashion global (contoh: Patagonia, Eileen Fisher). Pendekatan zero-waste design juga menjadi opsi untuk mengurangi limbah dari proses produksi.
Akhir dari sebuah pakaian bukan titik final, melainkan kesempatan untuk menciptakan transformasi yang bukan sekadar dari gaya, tapi juga dari perilaku konsumsi. Limbah tekstil bukan sekadar tumpukan kain, melainkan risiko lingkungan dan sosial yang harus ditangani bersama.
Dengan menggabungkan pilihan gaya yang bijak, partisipasi dalam upcycling dan ekonomi circular, serta mendukung regulasi dan inisiatif lokal, kontribusi setiap individu menjadi titik penting menuju sistem fashion yang lebih berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Apa yang Bisa Kita Lakukan dari Rumah?
Seiring meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap isu lingkungan, perilaku konsumen mulai bergeser. Banyak individu yang menunjukkan ketertarikan untuk membeli produk fashion ramah lingkungan, meski akan muncul tantangan, seperti harga yang relatif lebih tinggi.
Digitalisasi dan media sosial berperan besar dalam menjangkau public, melalui konten edukatif dan kampanye influencer dapat memicu perubahan sikap dan memunculkan rasa tanggung jawab kolektif.
Regulasi pun mulai bergerak, misalnya inisiatif circular economy yang mendapat perhatian serius karena menekankan penggunaan kembali dan daur ulang bahan tekstil. Hal ini akan membuka potensi untuk mengurangi limbah sekaligus menciptakan lapangan kerja baru. Pendekatan ini diharapkan mampu menyelesaikan ketimpangan produksi linear yang selama ini memperparah dampak fast fashion.
Model fashion musiman asing memang memberi perspektif, tetapi konteks iklim di Indonesia menuntut pendekatan yang lebih relevan dan berkelanjutan. Ketergantungan pada tren musiman mendorong produksi massal, konsumsi impulsif, dan sampah tekstil yang berdampak lingkungan. Sebaliknya, personal style menawarkan jalur keluar yang realistis dengan wardrobe reflektif, fungsional, dan tahan lama.
Reference :
https://globalfashionagenda.org/wp-content/uploads/2024/07/240604-Meeting-Report-Roundtable-Establishing-Circular-Textile-Systems-in-Idonesia.pdf
https://knowledge-hub.circle-economy.com/article/18391?n=PABLE-Textile-Waste-Recycling-Start-Up-from-Indonesia
https://www.switch-asia.eu/site/assets/files/4241/pable_indonesia.pdf
https://gggi.org/weaving-change-how-circular-textiles-create-a-sustainable-future-for-indonesia/
https://snapcart.global/the-rise-of-the-fashion-repair-trend-in-indonesia/
https://globalyouth.wharton.upenn.edu/articles/future-of-the-business-world-podcast/knitting-purpose-and-new-life-from-textile-waste-in-indonesia/
https://www.teenvogue.com/story/what-really-happens-to-your-used-clothing
https://www.ft.com/content/77b0a3bb-a550-46fd-895b-4810ce822e1e