Selama beberapa tahun terakhir, masyarakat harus menghadapi ketidakpastian global, mulai dari krisis iklim, pandemi, hingga disrupsi sosial. Dalam kondisi seperti sekarang, fashion bukan lagi sekedar alat ekspresi diri, namun juga berfungsi sebagai sarana adaptasi sekaligus bentuk perlawanan terhadap realitas dunia yang semakin penuh tantangan. Saat ini, mode bukan hanya soal estetika, tetapi juga tentang bagaimana manusia bertahan dalam kondisi lingkungan dan sosial yang tidak menentu.
Dalam konteks ini, muncul dua konsep yang saling terkait dan semakin relevan, yaitu dystopian luxury dan circular fashion. Keduanya menawarkan paradigma baru dalam menciptakan mode yang tidak hanya indah dipandang, tetapi juga tahan lama, fungsional, dan berkelanjutan. Bagaimana keterkaitan dua aspek ini? Bagaimana pula hal ini berpengaruh pada konsep keberlanjutan? Berikut penjelasannya!
Apa Itu Dystopian Fashion?
Dystopian fashion adalah gaya berpakaian yang mengambil inspirasi dari dunia pasca-apokaliptik dan narasi fiksi ilmiah. Kita sering menemui estetikanya dalam film seperti Mad Max, The Hunger Games, atau Blade Runner, di mana busana mencerminkan ketangguhan dan kemampuan beradaptasi dalam dunia yang keras. Secara umum, ciri khas dystopian fashion antara lain adalah:
- Palet warna gelap dan netral seperti hitam, abu-abu, atau cokelat tanah, yang menggambarkan suasana suram dunia distopia.
- Potongan oversized dan asimetris, memberi kesan protektif sekaligus tidak terikat aturan mode konvensional.
- Penggunaan material teknis seperti Gore-Tex, neoprene, atau kain tahan api, yang awalnya dipakai dalam kebutuhan militer atau olahraga ekstrem.
- Elemen utilitarian berupa harness, cargo pants, kantong multifungsi, hingga layering berlapis-lapis.
Lebih dari sekadar tren visual, gaya ini memuat simbol tentang ketahanan, pemberontakan, dan kesiapan menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian. Style-nya juga dibuat dengan gaya yang badass namun tetap nyaman saat digunakan bermobilitas.
Circular Fashion Sebagai Mode yang Berkelanjutan
Circular fashion adalah model industri mode yang berfokus pada prinsip “reduce, reuse, recycle”. Tujuannya adalah untuk mengurangi limbah tekstil dengan mendesain produk yang dapat didaur ulang, diperbaiki, atau digunakan kembali..
Berbeda dari pendekatan estetika dystopian, circular fashion lahir dari kesadaran ekologis. Konsep ini adalah sebagai solusi terhadap industri fashion yang merupakan salah satu penyumbang limbah terbesar di dunia.
Sistem linear “ambil–buat–buang” telah menciptakan tumpukan tekstil yang mencemari tanah dan air. Sementara itu, circular fashion hadir sebagai jawaban, dengan prinsip keberlanjutan. Prinsip ini diwujudkan melalui berbagai strategi, seperti:
- Penggunaan material daur ulang (misalnya polyester dari botol plastik atau kain deadstock).
- Desain modular yang memudahkan produk diperbaiki, diganti bagian tertentu, atau dimodifikasi untuk memperpanjang usia pakainya.
- Sistem bisnis berbasis siklus hidup produk, seperti program take-back dari brand, jasa reparasi, hingga layanan sewa pakaian.
Dengan circular fashion, pakaian tidak lagi dipandang sebagai barang sekali pakai, melainkan aset yang bisa terus hidup dalam siklus pemakaian, perbaikan, dan daur ulang.
Dystopian Luxury Sebagai Fashion Mewah yang Tahan Waktu
Jika circular fashion berbicara tentang keberlanjutan, dystopian luxury fokus pada gabungan antara kemewahan, fungsionalitas, dan teknologi. Konsep ini mendorong lahirnya pakaian yang dirancang bukan hanya untuk tampil gaya, tetapi juga benar-benar melindungi dan bertahan di tengah kondisi ekstrem. Produk-produk dystopian luxury memiliki dua lapisan makna, antara lain:
- Estetis dan simbolis, karena menampilkan kesan futuristik yang sejalan dengan narasi dunia distopia.
- Praktis dan bertahan lama, sehingga tidak hanya menjadi tren musiman tetapi investasi jangka panjang.
Dengan begitu, mode tidak hanya menyajikan fantasi visual, tetapi juga perlengkapan survival untuk menghadapi ketidakpastian masa depan.
Circular Fashion dalam Konteks Indonesia
Jika berbicara global, banyak inisiatif circular fashion sudah berjalan di Eropa atau Amerika. Namun, di Indonesia, pendekatan ini juga mulai menemukan jalannya. Salah satunya melalui Circular Fashion Partnership Indonesia, sebuah kolaborasi yang digagas oleh Global Fashion Agenda bersama pemangku kepentingan lokal. Program ini mendorong sistem tekstil berkelanjutan dengan menghubungkan brand, pabrik, hingga konsumen untuk menciptakan rantai pasokan sirkular.
Selain itu, ada komunitas kreatif yang mengadakan workshop upcycling, untuk mengajarkan generasi muda cara mengubah pakaian lama menjadi barang berguna dan stylish. Kehadiran inisiatif ini menunjukkan bahwa kesadaran konsumen Indonesia terhadap keberlanjutan mulai tumbuh. Walau skalanya belum sebesar negara maju, potensi perkembangannya cukup besar.
Kombinasi Dystopian Luxury dengan Circular Fashion
Menggabungkan prinsip-prinsip dystopian fashion dengan model circular fashion dapat menciptakan produk yang tidak hanya estetis dan fungsional tetapi juga berkelanjutan. Desain modular, penggunaan material daur ulang, dan fokus pada ketahanan adalah beberapa cara untuk mencapai hal ini. Pendekatan ini tidak hanya relevan di pasar internasional tetapi juga dapat diadaptasi dalam konteks lokal Indonesia, di mana kesadaran akan keberlanjutan dalam fashion semakin meningkat.
Bayangkan jika elemen futuristik, fungsional, dan tahan lama dari dystopian luxury dipadukan dengan prinsip berkelanjutan dari circular fashion. Hasilnya adalah busana yang tidak hanya unik secara visual, tetapi juga ramah lingkungan. Contohnya:
- Desain modular dengan estetika dystopian, di mana pakaian bisa diubah-ubah sesuai kebutuhan situasi ekstrem maupun penggunaan sehari-hari.
- Material daur ulang canggih, seperti serat hasil olahan limbah tekstil yang tetap memiliki daya tahan tinggi.
- Produk long-lasting yang tidak lekang tren, sehingga sekaligus mengurangi pola konsumsi berlebihan.
Pendekatan ini relevan tidak hanya di pasar internasional, tetapi juga di Indonesia, yang memiliki kultur adaptif dan kreatif. Perpaduan ini bisa menjadi wajah baru fashion lokal dengan karakter khas: tahan banting, estetis, dan berkesadaran lingkungan.
Tantangan dan Peluang
Meskipun ada potensi besar, tantangan seperti kurangnya infrastruktur daur ulang, biaya produksi yang tinggi, dan kurangnya kesadaran konsumen masih menjadi hambatan. Namun, dengan meningkatnya kesadaran akan isu lingkungan dan sosial, ada peluang untuk mengembangkan industri fashion yang lebih berkelanjutan dan inklusif di Indonesia.
Dystopian luxury dan circular fashion menawarkan pendekatan inovatif dalam menghadapi tantangan industri mode saat ini. Dengan menggabungkan estetika futuristik dengan prinsip keberlanjutan, kita dapat menciptakan mode yang tidak hanya relevan dengan zaman tetapi juga bertanggung jawab terhadap lingkungan dan sosial. Di Indonesia, inisiatif lokal menunjukkan bahwa perubahan menuju industri fashion yang lebih berkelanjutan bukan hanya mungkin tetapi juga sedang berlangsung.
Reference :
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2352550924001398
https://aim2flourish.com/innovations/sustainable-living-through-circular-fashion
https://globalfashionagenda.org/news-article/circular-fashion-partnership-indonesia-launch/
https://www.esquire.com/style/mens-fashion/a65667677/dystopian-luxury-fashion/