Decluttering pakaian anak kadang bukan hal mudah, apalagi jika ada banyak koleksi lucu yang bikin si kecil terlihat menggemaskan dalam berbagai momen. Namun sayangnya, banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa anak tumbuh cepat sehingga banyak pakaian hanya terpakai hanya dalam waktu singkat, sebelum akhirnya tidak muat lagi dikenakan. Kalau sudah begini, tidak ada pilihan lain selain dibuang, kan?
Karenanya, menyimpan baju anak terlalu lama pada dasarnya adalah hal yang sia-sia. Justru, dengan melakukan decluttering secara berkala, orangtua telah melakukan upaya sustainable fashion. Memang apa hubungan decluttering dengan konsep berkelanjutan? Bagaimana pula cara menerapkannya dengan benar? Simak penjelasannya berikut ini?
Memahami Konsep Decluttering dalam Sustainable Fashion
Secara global, produksi dan pembuangan pakaian menciptakan masalah lingkungan yang signifikan. Diperkirakan sekitar puluhan juta ton tekstil berakhir di tempat pembuangan setiap tahun. Bukan hanya soal tumpukannya yang menggunung, namun juga bahan kimia dalam pakaian yang bisa saja mencemari lingkungan dalam jangka panjang. Karenanya, perlu kesadaran setiap individu untuk turut mengatasi masalah ini, salah satunya dengan mengurangi jumlah limbah.
Dalam hal ini, decluttering bisa menjadi solusi. Mungkin sebagian besar orang keliru menganggap upaya ini hanya sekedar menyingkirkan barang-barang yang ada di dalam rumah. Padahal, decluttering juga melibatkan aksi yang lebih nyata.
Dalam hal ini, praktik memilah dan menangani pakaian anak secara cermat membantu mengurangi limbah, mengurangi konsumsi sumber daya baru, dan memperpanjang umur pakai tiap item. Prinsip yang disarankan bukan hanya “buang”, melainkan memilih tindakan yang paling bernilai, misalnya menyimpan yang masih dipakai, mendonasikan, menjual, atau mendaur ulang/upcycle bila perlu.
Kapan Saatnya Menyingkirkan Baju Anak?
Salah satu alasan sulitnya melakukan decluttering pakaian adalah karena orangtua belum memahami kapan hal ini harus dilakukan. Untuk membuat keputusan yang konsisten, perhatikan tiga indikator berikut:
a. Ukuran Tidak Lagi Pas
Jika baju menghambat gerak atau tampak terlalu longgar sehingga anak tidak nyaman, itu sinyal paling jelas untuk segera menyortirnya. Terlebih lagu, anak usia dini biasanya dengan cepat tumbuh dan berubah ukuran tubuh. Praktik “menyisihkan pakaian sudah tidak muat” ini akan membantu menjaga volume lemari dan menghindari tumpukan pakaian yang tak terpakai. Jadi, jangan malah menambah lemari baru, ya!
b. Kondisi Pakaian Sudah Menurun
Jahitan terbuka, elastis yang kendur, atau noda permanen menurunkan kemungkinan reuse atau donasi. Fashion item semacam ini sebaiknya diarahkan ke recycling atau upcycle, alih-alih disimpan di dalam lemari.
c. Tidak pernah dipakai lagi.
Data perilaku konsumen menunjukkan banyak pakaian jarang dipakai, namun dibiarkan menumpuk di dalam lemari. Padahal, item tersebut sebenarnya sudah tidak relevan, baik dari segi model, ukuran, dan lain-lain. Kecuali baju pesta atau kostum event rutin, coba lakukan penyortiran dan singkirkan yang tidak perlu. Banyak praktisi atau ahli penataan wardrobe menyarankan interval evaluasi, mulai dari 2 minggu sampai 6 bulan untuk menilai frekuensi penggunaan dan memutuskan apakah suatu item layak disimpan.
Metode Penyortiran Pakaian Anak
Salah satu metode yang bisa diterapkan untuk melakukan decluttering pakaian anak adalah “Empat Pile System”. Cara ini menggunakan empat tumpukan dengan alur operasional yang jelas:
1. Keep (Simpan)
Kriteria pakaian yang masuk ke dalam tumpukan ini adalah yang memiliki ukuran sesuai, nyaman menurut anak, kondisi baik, dan frekuensi pemakaian tinggi. Pilih bahan yang tahan lama, misalnya katun berkualitas atau linen, untuk mengoptimalkan panjang umur pemakaian. Menyimpan secara selektif mengurangi penggantian impulsif dan konsumsi material baru.
2. Donate (Sumbangkan)
Pakaian layak pakai tapi kekecilan dapat disalurkan ke keluarga, komunitas lokal, sekolah, atau organisasi sosial. Donasi memperpanjang siklus penggunaan dan menutup loop lokal sehingga cara ini lebih efektif ketimbang langsung membuang.
3. Sell (Pre-loved)
Item bermerek atau kondisi nyaris baru dapat didagangkan lewat platform preloved atau konsinyasi. Perdagangan ulang ini tidak hanya mengurangi sampah tetapi juga memberi nilai ekonomi kembali pada pemilik awal.
4. Trash/Recycle/Upcycle
Untuk pakaian yang rusak parah, prioritaskan rute daur ulang tekstil formal bila memungkinkan. Jika tidak, upcycling (kain lap, proyek kreatif anak, boneka kain) bisa membantu mengubah potensi limbah menjadi aset edukatif. Infrastruktur daur ulang tekstil masih terbatas, di mana kurang dari 1% material pakaian menjadi bahan pakaian baru, oleh karena itu langkah reduce/reuse/resell menjadi langkah penting.
Teknik dan Alat Bantu untuk Decluttering
Faktanya, penerapan kadang memang tidak semudah teori. Walaupun sudah memahami metode pile system, masing-masing orang punya pertimbangan ketika harus membuang dan menyimpan. Karenanya, beberapa teknik praktis berikut ini bisa memudahkan proses decluttering pakaian anak:
1. Metode KonMari versi anak
Terapkan tiga pertanyaan sederhana: (1) apakah ukurannya pas? (2) apakah anak suka? (3) apakah kondisinya layak? Keputusan berbasis fungsi dan preferensi bisa mengurangi bias sentimental. KonMari menekankan pengelompokan per kategori (pakaian semua dikumpulkan dulu), yang membuat perbandingan lebih objektif.
2. Halfway Home Method (Tempat Sampah Sementara)
Jika ragu, masukkan item ke kotak khusus. Jika selama 4–6 minggu tidak juga dipakai, artinya item itu aman untuk dilepas dari lemari. Metode ini mencegah keputusan panik dan memberi data penggunaan nyata.
Hanger/Reverse-hanger dan Bin Purge
Teknik visual seperti mengubah arah hanger atau menyediakan wadah “keluar” di lemari. Cara ini membantu memantau penggunaan secara pasif dan mendorong kebiasaan pemeliharaan lemari. Variasi implementasi umum ditemukan di panduan organisasi rumah.
Libatkan Anak dalam Proses
Melibatkan anak bukan sekadar membuat mereka kooperatif, tetapi mendidik kemampuan pengambilan keputusan dan kesadaran lingkungan. Pada balita, orang tua memimpin seleksi dengan kriteria sederhana. Sedangkan pada anak usia sekolah, libatkan mereka lebih aktif (memegang item, memilih kategori). Sertakan edukasi singkat tentang simbol daur ulang dan bahan ramah lingkungan (misalnya katun organik) agar preferensi konsumsi tumbuh sejak dini.
Decluttering pakaian anak sendiri adalah intervensi kecil yang berdampak pada pengurangan limbah tekstil dan jejak lingkungan bila dilakukan sistematis. Caranya adalah dengan menyimpan yang bernilai guna, mendonasikan, menjual pre-loved, dan mendaur ulang yang tidak layak. Praktik ini juga membentuk konsumen muda yang lebih sadar.
Mulailah dengan menjadwalkan evaluasi tiap musim atau setelah fase pertumbuhan, siapkan “bin purge” di lemari, dan ubah kebiasaan belanja menjadi pilihan kualitas ketimbang kuantitas—langkah sederhana menuju slow fashion di keluarga.
References:
- https://www.unep.org/technical-highlight/sustainable-fashion-take-centre-stage-zero-waste-day
- https://www.mckinsey.com/capabilities/sustainability/our-insights/sustainability-blog/refashioning-clothings-environmental-impact
- https://www.washingtonpost.com/home/2025/08/06/how-to-organize-kids-clothes/
- https://www.theguardian.com/australia-news/article/2024/may/11/cut-down-on-baby-clutter-how-to-recycle-swap-and-upcycle-your-childrens-clothes
- https://www.goodhousekeeping.com/home/organizing/a65498111/reverse-hanger-declutter/
- https://www.bhg.com/closet-organizing-hack-11742036