Apakah wajar jika kita bermimpi Indonesia dengan Jakarta sebagai etalase menjadi salah satu ibu kota mode dunia? Bukan sekadar angan, pertanyaan ini mengajak kita membedah ekosistem fashion Indonesia dan membandingkannya dengan Paris: dari infrastruktur, talenta, budaya, hingga mesin ekonomi kreatif yang menggerakkannya.
Ringkasan Eksekutif
-
Paris unggul berkat sinergi kuat pemerintah–industri–masyarakat, infrastruktur mapan, dan tradisi mode yang mengakar.
-
Indonesia punya talenta dan pasar domestik besar, tetapi ekosistemnya belum mulus: koordinasi lemah, infrastruktur belum merata, dan akses pembiayaan–perizinan masih berat.
-
Peta jalan menuju “The Next Paris” menuntut konsistensi kebijakan, penguatan sekolah mode, diplomasi dagang–budaya, dan strategi go-global untuk brand lokal.
1. Paris: Studi Kasus Kota Mode
-
Peran kota global: Paris mengintegrasikan bisnis, budaya, sains, seni, hingga pariwisata dalam satu visi pembangunan metropolitan jangka panjang. Hasilnya, reputasi dan ekonomi saling menguatkan.
-
Mesin fashion: Kehadiran rumah mode bersejarah (Chanel, Dior, Hermès, Saint Laurent), jejaring pemasok dan manufaktur bernilai tambah, serta alur talenta dari sekolah ke rumah mode.
-
Platform dunia: Paris Fashion Week dua kali setahun berfungsi sebagai panggung komersial, budaya, dan media; menarik buyer, jurnalis, selebriti, dan wisatawan.
-
Budaya berpakaian: Street style yang hidup dan konsumsi fashion yang melek tren menciptakan siklus inspirasi–permintaan.
2. Indonesia Hari Ini: Potensi vs Hambatan
-
Talenta dan contoh sukses: Dari generasi lawas seperti Non Kawilarang dan Peter Sie hingga nama-nama yang menembus panggung global seperti Tex Saverio — bukti kapasitas kreatif ada.
-
Minat konsumen domestik: Publik perkotaan makin mengapresiasi brand lokal; desain menarik dan harga kompetitif jadi alasan utama.
-
Hambatan struktural: Perizinan pembukaan toko fisik, biaya sewa tinggi, ketergantungan pada event/marketplace, dan penalti bila target retail tidak tercapai.
-
Keterbatasan dukungan: Buyer internasional dalam pekan mode domestik masih terbatas; kolaborasi strategis dengan rumah mode/retailer global belum masif.
-
Pendidikan & riset: Akses sekolah mode ada, namun kurikulum manufaktur berkelanjutan, bisnis global, dan teknologi material masih perlu diperkuat.
3. Infrastruktur dan Kebijakan: Apa yang Dibutuhkan
-
Regulasi ramah UMKM fashion: Penyederhanaan perizinan, dukungan pajak, akses kredit berbasis IP (merek/desain), dan insentif ekspor bagi produk bernilai tambah.
-
Kawasan kreatif terpadu: Pengembangan district fashion yang menggabungkan studio, workshop, co-manufacturing, gudang, dan showroom, terkoneksi transportasi massal.
-
Rantai pasok cerdas: Penguatan tekstil–garmen bernilai tinggi (fabrikasi kain inovatif, printing digital, eco-dye), traceability, dan sertifikasi keberlanjutan.
-
Data dan promosi: Dashboard nasional untuk memetakan kinerja brand, buyer, tren; misi dagang–budaya ke kota mode; dan kalender acara yang sinkron.
4. Talenta dan Pendidikan: Mencetak ‘Designer–Founder’
-
Sekolah mode berbasis industri: Kurikulum lintas disiplin (desain, teknik material, 3D pattern, CAD, merchandising, digital marketing, dan hukum HKI).
-
Inkubator dan akselerator: Mentoring brand building, costing, sourcing, retail readiness, dan ekspansi omnichannel.
-
Beasiswa dan magang global: Skema co-funding untuk magang di rumah mode/manufaktur Eropa–Asia, dengan komitmen kembali membangun ekosistem lokal.
5. Pasar dan Brand: Dari Lokal Kuat ke Global Relevan
-
Strategi positioning: Temukan DNA merek berbasis budaya Nusantara yang modern — bukan sekadar motif, tetapi narasi, teknik, dan siluet.
-
Go-to-market omnichannel: Kombinasikan D2C online, pop-up strategis, konsinyasi selektif, dan flagship yang berfungsi sebagai experiential hub.
-
Kemitraan ritel internasional: Target showroom dan buyer pada fashion week regional, lalu eskalasi ke Paris/Milan dengan koleksi kapsul terkurasi.
-
IP dan kolaborasi: Lindungi desain, bangun kolaborasi lintas sektor (seniman, game, film), dan manfaatkan limited drop untuk mencipta kelangkaan.
6. Event dan Ekosistem Show
-
Kurasi pekan mode: Fokus pada buyer dan media yang relevan, slot presentasi yang disiplin, dan fasilitas B2B (showroom, order booth, digital line sheet).
-
Jejaring global: Undang sekolah, jurnalis, dan showroom internasional untuk kelas master dan review koleksi.
-
Aktivasi publik: Pameran street style, museum sementara (fashion archive), dan tur atelier untuk mengedukasi konsumen.
7. Keberlanjutan: Keunggulan Kompetitif Baru
-
Bahan dan proses: Investasi pada serat alam lokal, pewarnaan alami, daur ulang, dan teknologi rendah emisi.
-
Transparansi: Label jejak karbon, asal bahan, serta standar kerja adil sebagai bagian dari storytelling merek.
-
Ekonomi sirkular: Program repair, rental, dan take-back untuk memperpanjang usia produk dan membuka aliran pendapatan baru.
8. Peta Jalan 3 Fase (2025–2035)
-
Fase 1: Fondasi (2025–2027)
-
Reformasi perizinan ritel kecil-menengah dan skema pembiayaan IP.
-
Inkubator nasional fashion dan pilot district kreatif di Jakarta/Bandung.
-
Kurasi ulang Indonesia Fashion Week: prioritas buyer, showroom B2B, dan agenda edukasi.
-
-
Fase 2: Akselerasi (2028–2031)
-
Ekspansi district ke Surabaya–Yogyakarta; integrasi rantai pasok hijau.
-
Partisipasi konsisten di fashion week regional dan showroom Eropa–Asia.
-
10–15 brand lokal dengan ekspor berulang dan rating ritel internasional.
-
-
Fase 3: Konsolidasi (2032–2035)
-
Satu pekan mode Jakarta berkelas global dengan transaksi order signifikan.
-
Pusat riset material Nusantara–sirkular berskala regional.
-
Brand Indonesia hadir tetap di department store/retailer premium luar negeri.
-
9. Realisme vs Optimisme: Apakah Bisa Menjadi “The Next Paris”?
Indonesia tidak perlu menyalin Paris, melainkan menemukan versi unggulan sendiri: kota mode tropis berkelanjutan berbasis warisan Nusantara dan teknologi modern. Dengan agenda yang disiplin, kolaborasi lintas sektor, dan keberanian menempatkan desain sebagai strategi nasional, mimpi itu masuk akal — namun menuntut komitmen jangka panjang.
Jalan menuju pengakuan global bukan sprint, melainkan maraton yang butuh visi, tata kelola, dan konsistensi. Talenta kita ada, pasar kita besar, dan cerita kita unik. Saat ekosistemnya padu, Indonesia bukan sekadar mengejar; kita bisa memimpin di jalur yang kita ciptakan sendiri.


