Saat melihat pekerja berat tidak berpuasa, tentu kita memiliki persepsi tersendiri. Ada yang menganggap sah-sah saja, toh mereka punya jenis pekerjaan yang sangat berat. Namun ada juga yang mengungkapkan hal tersebut tidak diijinkan. Indonesia sendiri tidak memiliki kebijakan membatalkan puasa bagi para pekerja berat. Begitu juga sebaliknya, tidak ada kebijakan libur kerja karena sedang berpuasa.
Para ulama baik Indonesia maupun luar negeri terus membahas hal tersebut hingga kini. Namun hasilnya masih belum tampak jelas. Tidak ada jawaban boleh atau dilarangnya isu ini. Sebagian memilih mengembalikan keputusan pada pribadi masing-masing, seperti seberapa berat pekerjaan tersebut, bagaimana kondisi tubuh mereka serta niat yang dipegang oleh pekerja berat. Temukan ulasan topik hangat ini di (X)S.M.L Journal ya.
PANDANGAN DARI SISI INDONESIA
Menurut ajaran Islam di Indonesia, belum ada yang mengemukakan secara spesifik. Beberapa terdapat asumsi pro misalnya jika pekerjaan itu ditinggalkan, pekerja berat akan kehilangan mata pencaharian. Atau mereka bisa mengalami kematian jika bekerja berat sambil puasa. Namun asumsi kontra mengemukakan jika pekerja berat (yang biasanya bekerja cenderung fleksibel) bisa mencari pekerjaan pada malam hari, mengambil cuti hingga resiko mengganti pekerjaan saat puasa.
Kedua hal tersebut tentu belum mendapatkan kejelasan hingga saat ini. Namun dalam salah satu riwayat yang dikutip dari Kompas, Nabi Muhammad SAW memperbolehkan membatalkan puasa dan tetap mendapat pahala jika semua alternatif yang dilakukan tidak memungkinkan, serta pekerjaan tersebut sangat penting baginya dan orang lain.
Seperti wawancara yang dilakukan dengan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan pada 2010 lalu, terdapat ayat-ayat puasa yang menjelaskan mereka yang sakit dan berpergian diperbolehkan tidak berpuasa, melainkan menggantinya pada hari lain setelah Ramadhan. Sementara untuk lansia boleh tidak menjalani puasa, namun harus membayar fidyah (denda) seperti 3 perempat liter beras untuk orang miskin.
Ia juga mengungkapkan ada juga orang yang pekerjaannya tidak memungkinkan berpuasa karena bisa membahayakan orang lain, seperti pilot. Maka dari itu, MUI telah mefatwakan jika mereka diperbolehkan tidak berpuasa dan mengganti puasa setelah ramadhan. Singkatnya Amidhan menjelaskan. Hal itu juga berlaku bagi para pekerja berat sejenisnya.
Selain itu di Indonesia sendiri, terdapat isu hangat bagi para pekerja lepas pantai yang dilansir oleh Kompas.com. Jika selama ini anggapan jika pekerja anjungan lepas pantai didominasi oleh orang asing. Nyatanya kehadiran Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKS) menjawab semua pertanyaan. Industri ini banyak mempekerjakan tenaga kerja asal Indonesia. Apalagi hal ini terkait peningkatan produksi migas nasional.
Dalam catatan SKK Migas 2015 silam, ada 31.745 pekerja Indonesia dan 1.024 pekerja asing dengan menjalani peraturan yang sama. Namun saat ini ekonomi yang tidak memihak sektor migas dilakukan dengan upaya efisiensi selain pemecatan pegawai. Dilansir Kompas.com, pemecatan karyawan (jika memang tidak bisa dihindari) bukanlah karena alasan puasa. Jika hal tersebut menghilangkan penghidupan para pekerja berat ini, dirasanya merupakan keputusan terburu-buru dan tidak adil.
PANDANGAN DARI SISI LUAR INDONESIA
Tidak berbeda jauh dengan Indonesia, beberapa tahun silam fatwa terbaru dikeluarkan otoritas keagamaan di Uni Emirat Arab (UEA) yang menyatakan para pekerja yang melakukan aktivitas pada cuaca yang sangat panas atau sangat dingin dapat mempengaruhi kesehatan. Maka dari itu, para pekerja tersebut boleh tidak berpuasa.
Namun kondisi ini tidak berarti harus dijadikan ‘keuntungan’ semata, melainkan sampai berakhirnya kondisi yang memaksa para pekerja tersebut sebaiknya melanjutkan puasa kembali. Fatwa ini dirilis untuk menjawab pertanyaan isu pekerja berat minyak di UEA. Mereka mengaku bekerja dengan cuaca panas diatas 40 derajat celcius atau 105 fahrenheit. Fatwa ini juga berlaku untuk pekerja konstruksi dan orang yang memiliki kondisi penyakit seperti diabetes dan jantung.
Sementara itu, bidang olahraga khususnya sepak bola juga diperbolehkan tidak menjalani puasa oleh ulama Jerman. Mereka menilai olahraga sepak bola merupakan pekerjaan berat. Namun di sisi lain, Ulama Iran menyarankan para atlet untuk tetap berpuasa karena wajib hukumnya bagi umat Islam.
Tentu hal ini kembali pada kebijakan masing-masing negara dalam menjalankan ibadah puasa. Untuk menanggapi isu-isu yang berkembang, ulama setempat telah menyiapkan jawaban dan mempertimbangkan secara matang. Apakah hal tersebut bertentangan dengan ajaran Islam atau tidak.
BAGAIMANAKAH KEPUTUSAN AKHIRNYA?
Hingga saat ini, keputusan pekerja berat dalam setiap negara belum ada ketetapan yang jelas. Mereka masing-masing melihat isu yang berkembang dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat negara tersebut. Misalnya saja, Indonesia yang sudah memberikan ketentuan bagi pilot untuk diperbolehkan tidak menjalani puasa. Sedangkan pada UEA, Jerman dan Iran juga memiliki kebijakan masing-masing. Jadi kesimpulannya bahwa puasa itu tentu wajib dijalankan sesuai ajaran Islam, namun melihat kebutuhan masyarakat masing-masing memungkinkan bila puasa tidak dijalani oleh pekerja berat dalam berbagai bidang.
Sementara itu para ulama masing-masing negara tidak menganggap fatwa yang dikeluarkan negara lain harus diikuti begitu saja. Menurut Amidhan terkait fatwa ulama Jerman itu sah-sah saja karena puasa dijalankan untuk menuju kemudahan, bukanlah dalam rangka menyulitkan. Jika merugikan bagi untuk diri sendiri dan orang lain, misalnya dalam hal kesehatan, sebaiknya tidak berpuasa namun diganti dengan membayar denda setelah ramadhan.
Semua kebijakan ini kembali lagi pada pribadi masing-masing. Ada yang bekerja berat tetap berpuasa, tetapi ada juga yang memilih untuk tidak karena alasan kesehatan. Walaupun begitu, puasa tetap perkara wajib. Selama mampu, harus menjalankannya. Jika tidak mereka boleh namun menggantinya pada hari lain setelah ramadhan. Sulit atau tidaknya menjalankan puasa akan kembali pada orang yang menjalankannya puasa itu sendiri. (Christallia)